Rabu, 25 April 2012

Teori-Teori Motivasi



A.   MASLOW
Menurut Maslow, ada lima kebutuhan yang mendasari motivasi manusia, yaitu :
1.    Kebutuhan fisiologis
Sekumpulan kebutuhan dasar yang paling mendesak pemuasannya karena berkaitan langsung dengan pemeliharaan biologis dan kelangsungan hidup (makan,air, oksigen, aktif, istirahat, keseimbangan temperatur, seks, kebutuhan stimulasi sensoris). Manusia akan berusaha memuaskannya sebelum memuaskan kebutuhan yang lebih tinggi.
2.    Kebutuhan akan rasa aman
Suatu kebutuhan yang mendorong individu untuk memperoleh ketentraman, kepastian dan keteraturan dari keadaan lingkungannya. Yang termasuk kebutuhan ini adalah: keamanan, perlindungan, ketergantungan, bebas dari rasa takut, cemas dan kekalutan
3.    Kebutuhan akan rasa cinta dan memiliki
Kebutuhan yang mendorong individu untuk mengadakan hubungan afektif atau ikatan emosional dengan individu lain, baik sesama jenis maupun lawan jenis, di lingkungan keluarga maupun masyarakat.
4.    Kebutuhan akan rasa harga diri
Meliputi dua hal :
·         Penghormatan atau penghargaan dari diri sendiri, meliputi hasrat untuk memperoleh kompetensi, rasa percaya diri, kekuatan pribadi, kemandirian dan kebebasan, mampu mengatsi segala tantangan.
·         Penghargaan dari orang lain, meliputi prestasi, penghargaan atas apa-apa yang dilakukannya.

5.    Kebutuhan akan aktualisasi diri
Merupakan tingkat kebutuhan yang paling tinggi. Kebutuhan aktualisasi diri adalah hasrat individu untuk menjadi orang yang sesuai dengan keinginan dan potensi yang dimilikinya, atau hasrat individu untuk menyempurnakan dirinya melalui pengungkapan segenap potensi yang dimilikinya
B.   CLAYTON ALDERFER
Clayton Alderfer mengetengahkan teori motivasi ERG yang didasarkan pada kebutuhan manusia akan keberadaan (exsistence), hubungan (relatedness), dan pertumbuhan (growth). Teori ini sedikit berbeda dengan teori maslow. Disini Alfeder mngemukakan bahwa jika kebutuhan yang lebih tinggi tidak atau belum dapat dipenuhi maka manusia akan kembali pada gerakk yang fleksibel dari pemenuhan kebutuhan dari waktu kewaktu dan dari situasi ke situasi. 
C.   HEZBERG
Menurut Herzberg (1966), ada dua jenis faktor yang mendorong seseorang untuk berusaha mencapai kepuasan dan menjauhkan diri dari ketidakpuasan. Dua faktor itu disebutnya faktor higiene (faktor ekstrinsik) dan faktor motivator (faktor intrinsik). Faktor higiene memotivasi seseorang untuk keluar dari ketidakpuasan, termasuk didalamnya adalah hubungan antar manusia, imbalan, kondisi lingkungan, dan sebagainya (faktor ekstrinsik), sedangkan faktor motivator memotivasi seseorang untuk berusaha mencapai kepuasan, yang termasuk di dalamnya adalah achievement, pengakuan, kemajuan tingkat kehidupan, dsb (faktor intrinsik).
D.   MC CLELLAND
Mc Clelland (1961), menyatakan bahwa ada tiga hal penting yang menjadi kebutuhan manusia, yaitu:
  • Need for achievement (kebutuhan akan prestasi)
  • Need for afiliation (kebutuhan akan hubungan sosial/hampir sama dengan soscialneed-nya Maslow)
  • Need for Power (dorongan untuk mengatur)




REINFORCEMENT THEORY
Menurut teori ini ketika sebuah kebutuhan muncul, kita akan termotivasi untuk bekerja keras mencapai tujuan, yakni untuk memuaskan kebutuhan. Jika digambarkan akan nampak seperti gambar berikut :


 











Gambar 1. Alur motivasi menurut Reinforcement Theory
Sumber : SIOP (2006)

Gambar tersebut menjelaskan bahwa karyawan cenderung akan mengulang respon yang positif, jika ia mendapat penguatan. Efek akan muncul pada periode tertentu pada saat penguat diberikan (bisa bulanan, per waktu atau per penyelesaian pekerjaan).

TEORI GOAL SETTING
Menurut teori Goal Setting orang selalu merancang tugas yang ada tujuannya, dan untuk mencapai tujuannya ia mengandalkan usaha dan waktu. Sebuah tujuan seharusnya spesifik, tidak asal “do your best”, tetapi tujuan itu menantang tapi terjangkau, tujuan itu dapat diterima oleh banyak pihak, dan umpan balik diperlukan setelah orang menunjukkan kinerjanya (Robbins, 1998).

Review Jurnal


The Associations Among Male - Perpetrated Partner Violence, Wives' Psychological Distress And Children's Behavior Problems: A Structural Equation Modeling Analysis

Amy E Street,  Lynda A King,  Daniel W King,  David S Riggs. 
Journal of Comparative Family Studies.:  Violence Against Women in the Family Calgary:Winter 2003.  Vol. 34,  Iss. 1,  p. 23-40

LANDASAN TEORI
Lelaki pelaku kekerasan dalam perkawinan menjadi pusat perhatian pada penelitian di bidang klinis dalam beberapa tahun ini. Hal tersebut menumbuhkan kesadaran bahwa kekerasan dalam perkawinan adalah sebuah permasalahan penting di kesehatan masyarakat. Secara kasar diperkirakan bahwa 1,6 juta perempuan Amerika dipukul oleh pasangan mereka setiap tahun (Straus & Gelles, 1986). Kalangan Militer dan Veteran memiliki kecenderungan untuk menjadi pelaku kekerasan dalam perkawinan, sebuah hubungan dengan pasangan dari kalangan militer dilaporkan berada dalam tingkatan paling tinggi dalam kekerasan terhadap perempuan (Bahannon & Dosser, 1995), kekerasan terhadap perempuan yang paling parah, dan lebih berisiko menjadi korban terluka dalam kekerasan terhadap perempuan (Cantos, dkk., 1994) dibandingkan kasus-kasus sipil lainnya. Lelaki pelaku kekerasan terhadap pasangan secara signifikan bertanggungjawab terhadap kesehatan fisik wanita yang menjadi korban. Laki-laki pelaku kekerasan terhadap pasangan telah memperlihatkan memiliki konsekuensi negatif jangka panjang terhadap kesehatan mental pasangan perempuan mereka, mencakup depresi ( e.g., Straus, 1992), kecemasan (e.g. Russell, dkk., 1989), sindrom stres pascatrauma (PTSD; e. G. Astin, dkk., 1995), penarikan sosial (e.g., Star, dkk., 1979), dan harga diri rendah (e.g., Aguilar & Nightingale, 1994).
“Korban yang tidak diharapkan” lainnya dari kekerasan dalam perkawinan adalah anak-anak yang menyaksikan kekerasan dalam orang tuanya (Hershorn & Rosenbaum, 1985). Carlson (1984) memperkirakan kurang lebih 3,3 juta anak-anak terkena kekerasan dari orang tua setiap tahunnya. Angka tersebut didapat dari sebuah konsensus di dalam literatur bahwa anak-anak yang terkena kekerasan dari orang tua memiliki kencenderungan beresiko memiliki masalah dengan kebahagian psikologinya (e.g., Cummings, dkk., 1999). Jaffe, dkk (1986) melaporkan bahwa anak-anak yang terkena kekerasan dalam rumah tangga memiliki kesulitan menyesuaikan diri memiliki masalah serupa yang ditunjukan oleh anak-anak yang menjadi korban kekerasan orang tuanya, dan berbeda secara signifikan dari masalah-masalah yang ditunjukan oleh anak-anak dari keluarga yang harmonis. Anak-anak yang terkena kekerasan antar orang tua, serta mereka yang tidak langsung terkena kekerasan, memperlihatkan sebuah jarak antara eksternalisasi dan internalisasi masalah-masalah perilaku, sama halnya dengan rendahnya harga diri, performa akademik, dan sosial kompetensi ( Smith, dkk., 1997).
Seperti yang sudah dijabarkan di atas, banyaknya fakta-fakta empiris tersebut menunjukan bahwa perempuan yang menjadi korban dalam kekerasan perkawinan mengalami lebih banyak stres dan masalah kesehatan mental daripada perempuan yang tidak mengalami kekerasan. Tekanan-tekanan tersebut mungkin berdampak negatif terhadap kualitas dari perhatian yang seorang perempuan korban kekerasan dapat berikan untuk anak-anaknya, atau hasil dari ketidaktepatan beban-beban yang ada pada anak-anak apabila mereka percaya bahwa mereka harus memberikan dukungan emosional terhadap ibunya (Elbow, 1982).
Pejuang perang Vietnam, pada khususnya yang dilaporkan memiliki tingkat tinggi dalam  penyerangan atau gangguan sindrom pasca trauma (PTSD) , adalah populasi yang cenderung memiliki keberfungsian dan penyesuain keluarga yang rendah (Kulka, dkk., 1990a, 1990b). Sebagai tambahan, kejahatan penganiayaan terhadap perempuan adalah hal yang lazim terjadi pada veteran yang mengalami PTSD (e.g. Caroll, dkk., 1985). Tidak mengagetkan, istri pejuang-pejuang perang Vietnam dengan PTSD sering dilaporkan berada dalam tingkat di atas level umum distrress psikologi (Kulka, dkk., 1990a, 1990b), dan level tinggi untuk simptom psikiatrik dan disfungsi sosial (Rosenhack & Fontana, 1998). Sama halnya, anak-anak pejuang Vietnam juga memiliki tingkat distress perang yang tinggi ditunjukan dengan tanda-tanda meningkatnya level  masalah perilaku dan penyesuaian diri (Rosenhack & Fontana, 1998). Selain itu Pejuang Vietnam juga sering dilaporkan merupakan keluarga yang miskin, penyesuaian perkawinan yang buruk, tingginya tingkat kejahatan kekerasan dalam rumah tangga, dan tingginya masalah perilaku anak, seorang sampel pejuang vietnam dan keluarganya memberikan sebuah kesempatan bagus untuk menguji hubungan multivarian antara variabel variabel tersebut.

HIPOTESIS
Perspektif suami di dalam keberfungsian keluarga dan dia menggunakan kekerasan akan langsung berhubungan dengan perspektif istri di dalam keberfungsian keluarga, distres psikologis istri, dan masalah-masalah perilaku anak.

VARIABEL
1.    Variabel independen: Perspektif suami dan istri terhadap keberfungsian keluarga, distress psikologis istri dan masalah perilaku anak
2.    Variabel dependen: Perilaku kekerasan lelaki dalam perkawinan

PENGUKURAN VARIABEL DEPENDEN
1.    Data dari Survei Nasional Generasi Vietnam dan komponen Wawancara Keluarga dari NVVRS.
2.    Kepuasan perkawinan diukur dengan Skala Ketidakpuasan Pernikahan
3.    Pengalaman istri tentang korban kekerasan perkawinan dinilai dengan laporannya pada Skala Konflik Taktik (CTS; Straus, 1979).
4.    Tekanan psikologis istri dinilai dengan skala dari Wawancara Psychiatric Research epidemiologis (Dohrenwend, 1982).
5.    Masalah Perilaku Anak dinilai berdasarkan laporan Ibu pada Checklist Perilaku Anak (CBCL; Achenbach, 1978; 1991) dan menjabat sebagai indikator kesehatan mental anak.

SUBJEK
260 pasangan suami-istri dari keluarga veteran yang memiliki satu atau lebih anak antara usia 6 sampai 16 tahun yang tinggal dalam satu rumah.

PROSEDUR
1.    Pengumpulan data dari Survei Nasional Generasi Vietnam dan komponen Wawancara Keluarga dari NVVRS.
2.    Pengukuran variabel dengan menggunakan skala kepuasan perkawinan, skala Skala Konflik Taktik (CTS; Straus, 1979), skala dari Wawancara Psychiatric Research epidemiologis (Dohrenwend, 1982), dan laporan Ibu pada Checklist Perilaku Anak (CBCL; Achenbach, 1978; 1991).

CARA ANALISIS: analisis multivarian


HASIL
1.    Kekerasan mental yang dialami dikaitkan dengan peningkatan tekanan psikologis bagi istri, dengan efek langsung dan tidak langsung pada kesejahteraan psikologis istri melalui sikap dan perasaan tentang kehidupan keluarganya. Temuan ini menunjukkan bahwa persepsi perempuan tentang fungsi keluarga yang kuat berdampak pada kesejahteraan psikologis mereka. Persepsi suami tentang fungsi keluarga juga berdampak pada tingkat tekanan psikologis istri.
2.    Kekerasan perkawinan dan fungsi keluarga berhubungan dengan peningkatan masalah perilaku di kalangan anak-anak, efek ini bukan efek langsung. Artinya, kekerasan perkawinan yang dialami berdampak langsung pada tekanan psikologis sang istri dan tidak langsung melalui persepsi istri tentang fungsi keluarga. Tekanan psikologis istri, pada gilirannya, sangat terkait dengan masalah perilaku anak. Dua puluh delapan persen dari varians dalam masalah perilaku anak dipertanggungjawabkan.