The Associations Among Male -
Perpetrated Partner Violence, Wives' Psychological Distress And Children's
Behavior Problems: A Structural Equation Modeling Analysis
Amy E Street, Lynda A
King, Daniel W King, David S Riggs.
Journal of Comparative Family
Studies.: Violence Against Women in the Family Calgary:Winter
2003. Vol. 34, Iss. 1, p. 23-40
LANDASAN TEORI
Lelaki pelaku
kekerasan dalam perkawinan menjadi pusat perhatian pada penelitian di bidang
klinis dalam beberapa tahun ini. Hal tersebut menumbuhkan kesadaran bahwa
kekerasan dalam perkawinan adalah sebuah permasalahan penting di kesehatan
masyarakat. Secara kasar diperkirakan bahwa 1,6 juta perempuan Amerika dipukul
oleh pasangan mereka setiap tahun (Straus & Gelles, 1986). Kalangan Militer
dan Veteran memiliki kecenderungan untuk menjadi pelaku kekerasan dalam
perkawinan, sebuah hubungan dengan pasangan dari kalangan militer dilaporkan
berada dalam tingkatan paling tinggi dalam kekerasan terhadap perempuan
(Bahannon & Dosser, 1995), kekerasan terhadap perempuan yang paling parah,
dan lebih berisiko menjadi korban terluka dalam kekerasan terhadap perempuan
(Cantos, dkk., 1994) dibandingkan kasus-kasus sipil lainnya. Lelaki pelaku
kekerasan terhadap pasangan secara signifikan bertanggungjawab terhadap kesehatan
fisik wanita yang menjadi korban. Laki-laki pelaku kekerasan terhadap pasangan
telah memperlihatkan memiliki konsekuensi negatif jangka panjang terhadap
kesehatan mental pasangan perempuan mereka, mencakup depresi ( e.g., Straus,
1992), kecemasan (e.g. Russell, dkk., 1989), sindrom stres pascatrauma (PTSD;
e. G. Astin, dkk., 1995), penarikan sosial (e.g., Star, dkk., 1979), dan harga
diri rendah (e.g., Aguilar & Nightingale, 1994).
“Korban yang tidak
diharapkan” lainnya dari kekerasan dalam perkawinan adalah anak-anak yang
menyaksikan kekerasan dalam orang tuanya (Hershorn & Rosenbaum, 1985).
Carlson (1984) memperkirakan kurang lebih 3,3 juta anak-anak terkena kekerasan
dari orang tua setiap tahunnya. Angka tersebut didapat dari sebuah konsensus di
dalam literatur bahwa anak-anak yang terkena kekerasan dari orang tua memiliki
kencenderungan beresiko memiliki masalah dengan kebahagian psikologinya (e.g.,
Cummings, dkk., 1999). Jaffe, dkk (1986) melaporkan bahwa anak-anak yang
terkena kekerasan dalam rumah tangga memiliki kesulitan menyesuaikan diri
memiliki masalah serupa yang ditunjukan oleh anak-anak yang menjadi korban
kekerasan orang tuanya, dan berbeda secara signifikan dari masalah-masalah yang
ditunjukan oleh anak-anak dari keluarga yang harmonis. Anak-anak yang terkena
kekerasan antar orang tua, serta mereka yang tidak langsung terkena kekerasan,
memperlihatkan sebuah jarak antara eksternalisasi dan internalisasi
masalah-masalah perilaku, sama halnya dengan rendahnya harga diri, performa
akademik, dan sosial kompetensi ( Smith, dkk., 1997).
Seperti yang sudah
dijabarkan di atas, banyaknya fakta-fakta empiris tersebut menunjukan bahwa
perempuan yang menjadi korban dalam kekerasan perkawinan mengalami lebih banyak
stres dan masalah kesehatan mental daripada perempuan yang tidak mengalami
kekerasan. Tekanan-tekanan tersebut mungkin berdampak negatif terhadap kualitas
dari perhatian yang seorang perempuan korban kekerasan dapat berikan untuk
anak-anaknya, atau hasil dari ketidaktepatan beban-beban yang ada pada
anak-anak apabila mereka percaya bahwa mereka harus memberikan dukungan
emosional terhadap ibunya (Elbow, 1982).
Pejuang perang
Vietnam, pada khususnya yang dilaporkan memiliki tingkat tinggi dalam penyerangan atau gangguan sindrom pasca
trauma (PTSD) , adalah populasi yang cenderung memiliki keberfungsian dan
penyesuain keluarga yang rendah (Kulka, dkk., 1990a, 1990b). Sebagai tambahan,
kejahatan penganiayaan terhadap perempuan adalah hal yang lazim terjadi pada
veteran yang mengalami PTSD (e.g. Caroll, dkk., 1985). Tidak mengagetkan, istri
pejuang-pejuang perang Vietnam dengan PTSD sering dilaporkan berada dalam
tingkat di atas level umum distrress psikologi (Kulka, dkk., 1990a, 1990b), dan
level tinggi untuk simptom psikiatrik dan disfungsi sosial (Rosenhack &
Fontana, 1998). Sama halnya, anak-anak pejuang Vietnam juga memiliki tingkat
distress perang yang tinggi ditunjukan dengan tanda-tanda meningkatnya
level masalah perilaku dan penyesuaian
diri (Rosenhack & Fontana, 1998). Selain itu Pejuang Vietnam juga sering
dilaporkan merupakan keluarga yang miskin, penyesuaian perkawinan yang buruk,
tingginya tingkat kejahatan kekerasan dalam rumah tangga, dan tingginya masalah
perilaku anak, seorang sampel pejuang vietnam dan keluarganya memberikan sebuah
kesempatan bagus untuk menguji hubungan multivarian antara variabel variabel
tersebut.
HIPOTESIS
Perspektif suami di
dalam keberfungsian keluarga dan dia menggunakan kekerasan akan langsung
berhubungan dengan perspektif istri di dalam keberfungsian keluarga, distres
psikologis istri, dan masalah-masalah perilaku anak.
VARIABEL
1. Variabel independen: Perspektif
suami dan istri terhadap keberfungsian keluarga, distress psikologis istri dan
masalah perilaku anak
2. Variabel dependen: Perilaku kekerasan
lelaki dalam perkawinan
PENGUKURAN VARIABEL DEPENDEN
1. Data dari Survei Nasional Generasi
Vietnam dan komponen Wawancara Keluarga dari NVVRS.
2. Kepuasan perkawinan diukur dengan
Skala Ketidakpuasan Pernikahan
3. Pengalaman istri tentang korban
kekerasan perkawinan dinilai dengan laporannya pada Skala Konflik Taktik (CTS;
Straus, 1979).
4. Tekanan psikologis istri dinilai
dengan skala dari Wawancara Psychiatric Research epidemiologis (Dohrenwend,
1982).
5. Masalah Perilaku Anak dinilai
berdasarkan laporan Ibu pada Checklist Perilaku Anak (CBCL; Achenbach, 1978;
1991) dan menjabat sebagai indikator kesehatan mental anak.
SUBJEK
260 pasangan suami-istri dari keluarga veteran yang memiliki
satu atau lebih anak antara usia 6 sampai 16 tahun yang tinggal dalam satu
rumah.
PROSEDUR
1. Pengumpulan data dari Survei
Nasional Generasi Vietnam dan komponen Wawancara Keluarga dari NVVRS.
2. Pengukuran variabel dengan
menggunakan skala kepuasan perkawinan, skala Skala Konflik Taktik (CTS; Straus,
1979), skala dari Wawancara Psychiatric Research epidemiologis (Dohrenwend,
1982), dan laporan Ibu pada Checklist Perilaku Anak (CBCL; Achenbach, 1978;
1991).
CARA ANALISIS: analisis multivarian
HASIL
1. Kekerasan
mental yang dialami dikaitkan dengan peningkatan tekanan psikologis bagi istri,
dengan efek langsung dan tidak langsung pada kesejahteraan psikologis istri
melalui sikap dan perasaan tentang kehidupan keluarganya. Temuan ini
menunjukkan bahwa persepsi perempuan tentang fungsi keluarga yang kuat
berdampak pada kesejahteraan psikologis mereka. Persepsi suami tentang fungsi
keluarga juga berdampak pada tingkat tekanan psikologis istri.
2. Kekerasan
perkawinan dan fungsi keluarga berhubungan dengan peningkatan masalah perilaku
di kalangan anak-anak, efek ini bukan efek langsung. Artinya, kekerasan perkawinan
yang dialami berdampak langsung pada tekanan psikologis sang istri dan tidak
langsung melalui persepsi istri tentang fungsi keluarga. Tekanan psikologis
istri, pada gilirannya, sangat terkait dengan masalah perilaku anak. Dua puluh
delapan persen dari varians dalam masalah perilaku anak dipertanggungjawabkan.