Rabu, 25 April 2012

Review Jurnal


The Associations Among Male - Perpetrated Partner Violence, Wives' Psychological Distress And Children's Behavior Problems: A Structural Equation Modeling Analysis

Amy E Street,  Lynda A King,  Daniel W King,  David S Riggs. 
Journal of Comparative Family Studies.:  Violence Against Women in the Family Calgary:Winter 2003.  Vol. 34,  Iss. 1,  p. 23-40

LANDASAN TEORI
Lelaki pelaku kekerasan dalam perkawinan menjadi pusat perhatian pada penelitian di bidang klinis dalam beberapa tahun ini. Hal tersebut menumbuhkan kesadaran bahwa kekerasan dalam perkawinan adalah sebuah permasalahan penting di kesehatan masyarakat. Secara kasar diperkirakan bahwa 1,6 juta perempuan Amerika dipukul oleh pasangan mereka setiap tahun (Straus & Gelles, 1986). Kalangan Militer dan Veteran memiliki kecenderungan untuk menjadi pelaku kekerasan dalam perkawinan, sebuah hubungan dengan pasangan dari kalangan militer dilaporkan berada dalam tingkatan paling tinggi dalam kekerasan terhadap perempuan (Bahannon & Dosser, 1995), kekerasan terhadap perempuan yang paling parah, dan lebih berisiko menjadi korban terluka dalam kekerasan terhadap perempuan (Cantos, dkk., 1994) dibandingkan kasus-kasus sipil lainnya. Lelaki pelaku kekerasan terhadap pasangan secara signifikan bertanggungjawab terhadap kesehatan fisik wanita yang menjadi korban. Laki-laki pelaku kekerasan terhadap pasangan telah memperlihatkan memiliki konsekuensi negatif jangka panjang terhadap kesehatan mental pasangan perempuan mereka, mencakup depresi ( e.g., Straus, 1992), kecemasan (e.g. Russell, dkk., 1989), sindrom stres pascatrauma (PTSD; e. G. Astin, dkk., 1995), penarikan sosial (e.g., Star, dkk., 1979), dan harga diri rendah (e.g., Aguilar & Nightingale, 1994).
“Korban yang tidak diharapkan” lainnya dari kekerasan dalam perkawinan adalah anak-anak yang menyaksikan kekerasan dalam orang tuanya (Hershorn & Rosenbaum, 1985). Carlson (1984) memperkirakan kurang lebih 3,3 juta anak-anak terkena kekerasan dari orang tua setiap tahunnya. Angka tersebut didapat dari sebuah konsensus di dalam literatur bahwa anak-anak yang terkena kekerasan dari orang tua memiliki kencenderungan beresiko memiliki masalah dengan kebahagian psikologinya (e.g., Cummings, dkk., 1999). Jaffe, dkk (1986) melaporkan bahwa anak-anak yang terkena kekerasan dalam rumah tangga memiliki kesulitan menyesuaikan diri memiliki masalah serupa yang ditunjukan oleh anak-anak yang menjadi korban kekerasan orang tuanya, dan berbeda secara signifikan dari masalah-masalah yang ditunjukan oleh anak-anak dari keluarga yang harmonis. Anak-anak yang terkena kekerasan antar orang tua, serta mereka yang tidak langsung terkena kekerasan, memperlihatkan sebuah jarak antara eksternalisasi dan internalisasi masalah-masalah perilaku, sama halnya dengan rendahnya harga diri, performa akademik, dan sosial kompetensi ( Smith, dkk., 1997).
Seperti yang sudah dijabarkan di atas, banyaknya fakta-fakta empiris tersebut menunjukan bahwa perempuan yang menjadi korban dalam kekerasan perkawinan mengalami lebih banyak stres dan masalah kesehatan mental daripada perempuan yang tidak mengalami kekerasan. Tekanan-tekanan tersebut mungkin berdampak negatif terhadap kualitas dari perhatian yang seorang perempuan korban kekerasan dapat berikan untuk anak-anaknya, atau hasil dari ketidaktepatan beban-beban yang ada pada anak-anak apabila mereka percaya bahwa mereka harus memberikan dukungan emosional terhadap ibunya (Elbow, 1982).
Pejuang perang Vietnam, pada khususnya yang dilaporkan memiliki tingkat tinggi dalam  penyerangan atau gangguan sindrom pasca trauma (PTSD) , adalah populasi yang cenderung memiliki keberfungsian dan penyesuain keluarga yang rendah (Kulka, dkk., 1990a, 1990b). Sebagai tambahan, kejahatan penganiayaan terhadap perempuan adalah hal yang lazim terjadi pada veteran yang mengalami PTSD (e.g. Caroll, dkk., 1985). Tidak mengagetkan, istri pejuang-pejuang perang Vietnam dengan PTSD sering dilaporkan berada dalam tingkat di atas level umum distrress psikologi (Kulka, dkk., 1990a, 1990b), dan level tinggi untuk simptom psikiatrik dan disfungsi sosial (Rosenhack & Fontana, 1998). Sama halnya, anak-anak pejuang Vietnam juga memiliki tingkat distress perang yang tinggi ditunjukan dengan tanda-tanda meningkatnya level  masalah perilaku dan penyesuaian diri (Rosenhack & Fontana, 1998). Selain itu Pejuang Vietnam juga sering dilaporkan merupakan keluarga yang miskin, penyesuaian perkawinan yang buruk, tingginya tingkat kejahatan kekerasan dalam rumah tangga, dan tingginya masalah perilaku anak, seorang sampel pejuang vietnam dan keluarganya memberikan sebuah kesempatan bagus untuk menguji hubungan multivarian antara variabel variabel tersebut.

HIPOTESIS
Perspektif suami di dalam keberfungsian keluarga dan dia menggunakan kekerasan akan langsung berhubungan dengan perspektif istri di dalam keberfungsian keluarga, distres psikologis istri, dan masalah-masalah perilaku anak.

VARIABEL
1.    Variabel independen: Perspektif suami dan istri terhadap keberfungsian keluarga, distress psikologis istri dan masalah perilaku anak
2.    Variabel dependen: Perilaku kekerasan lelaki dalam perkawinan

PENGUKURAN VARIABEL DEPENDEN
1.    Data dari Survei Nasional Generasi Vietnam dan komponen Wawancara Keluarga dari NVVRS.
2.    Kepuasan perkawinan diukur dengan Skala Ketidakpuasan Pernikahan
3.    Pengalaman istri tentang korban kekerasan perkawinan dinilai dengan laporannya pada Skala Konflik Taktik (CTS; Straus, 1979).
4.    Tekanan psikologis istri dinilai dengan skala dari Wawancara Psychiatric Research epidemiologis (Dohrenwend, 1982).
5.    Masalah Perilaku Anak dinilai berdasarkan laporan Ibu pada Checklist Perilaku Anak (CBCL; Achenbach, 1978; 1991) dan menjabat sebagai indikator kesehatan mental anak.

SUBJEK
260 pasangan suami-istri dari keluarga veteran yang memiliki satu atau lebih anak antara usia 6 sampai 16 tahun yang tinggal dalam satu rumah.

PROSEDUR
1.    Pengumpulan data dari Survei Nasional Generasi Vietnam dan komponen Wawancara Keluarga dari NVVRS.
2.    Pengukuran variabel dengan menggunakan skala kepuasan perkawinan, skala Skala Konflik Taktik (CTS; Straus, 1979), skala dari Wawancara Psychiatric Research epidemiologis (Dohrenwend, 1982), dan laporan Ibu pada Checklist Perilaku Anak (CBCL; Achenbach, 1978; 1991).

CARA ANALISIS: analisis multivarian


HASIL
1.    Kekerasan mental yang dialami dikaitkan dengan peningkatan tekanan psikologis bagi istri, dengan efek langsung dan tidak langsung pada kesejahteraan psikologis istri melalui sikap dan perasaan tentang kehidupan keluarganya. Temuan ini menunjukkan bahwa persepsi perempuan tentang fungsi keluarga yang kuat berdampak pada kesejahteraan psikologis mereka. Persepsi suami tentang fungsi keluarga juga berdampak pada tingkat tekanan psikologis istri.
2.    Kekerasan perkawinan dan fungsi keluarga berhubungan dengan peningkatan masalah perilaku di kalangan anak-anak, efek ini bukan efek langsung. Artinya, kekerasan perkawinan yang dialami berdampak langsung pada tekanan psikologis sang istri dan tidak langsung melalui persepsi istri tentang fungsi keluarga. Tekanan psikologis istri, pada gilirannya, sangat terkait dengan masalah perilaku anak. Dua puluh delapan persen dari varians dalam masalah perilaku anak dipertanggungjawabkan.